Just another free Blogger theme
Jumat, 10 Oktober 2014
by Unknown on 02.28
No comments
PERMASALAHAN DAN SOLUSI PEMILUKADA
TUGAS
MATA KULIAH
IMPLEMENTASI DAN
EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
DOSEN
Dr. DADANG H.
PURNAMA
OLEH :
AHMAD
SYAHRI NMP
: 051423140
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCASARJANA STISIPOL CANDRADIMUKA
TAHUN 2014
PERMASALAHAN DAN SOLUSI PEMILUKADA
TUGAS
MATA KULIAH
IMPLEMENTASI DAN
EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
DOSEN
Dr. DADANG H.
PURNAMA
OLEH :
KARWAN SUGIARTO NPM : 051423118
PROGRAM STUDI
ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM
PASCASARJANA STISIPOL CANDRADIMUKA
TAHUN 2014
PERMASALAHAN DAN SOLUSI PEMILUKADA
TUGAS
MATA KULIAH
IMPLEMENTASI DAN
EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
DOSEN
Dr. DADANG H.
PURNAMA
OLEH :
MIDIARNI TRIDAYANTI AMAD NMP : 051423140
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCASARJANA STISIPOL CANDRADIMUKA
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan Tugas Kelompok yang berjudul “Permasalahan Dan Solusi Pemilukada’.
Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah “Implementasi
Dan Evaluasi Kebijakan Publik” di Program Magister Administrasi Publik
Program Pasca Sarjana Stisipol Candradimuka Palembang.
Dalam
Penulisan makalah ini tentu merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu,
kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah Tugas ini.
Palembang, September 2014
Penulis
BAB. I
PENDAHULUAN
I.
PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi,
sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung
(Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap
system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang
berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat
sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan
kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan
prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah
dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan
Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau
gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU
No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan
dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan
dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di
Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance
karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini
merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi.
Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi
ini telah sampai pada taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi
yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan
untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas.
Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan
efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka
kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin
terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari
bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada
yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan,
diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga
dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue
perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam
bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue
tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.)
maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala
daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di
Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena
ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung
latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga diri
pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan
kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua
Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada
yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam
kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over
allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh
alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik
seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk
mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan
dalam proses pemerintahan (the process of government) . Dalam kerangka
ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise”
seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai
Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011,
selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem
perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan
hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas
tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar
untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya
korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak
Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
BAB. II
PERMASALAHAN PILKADA
DAN ISU-ISU PILKADA
1. Daftar Pemilih tidak
akurat;
a.
Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat
diandalkan
b.
Calon pemilih banyak yang memiliki domisili
lebih dari satu tempat
c.
Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam
menyikapi DPS
d.
Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih
tidak maksimal
e.
Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan
data pemilih ketika sudah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika
sudah mendekati hari pemungutan suara
f.
Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih
tidak maksimal.
2. Proses pencalonan yang
bermasalah
a.
Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai
politik.
b.
Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari
partai yang sama.
c.
KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan
calon.
d.
Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari
pasangan calon/Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh
KPU.
e.
Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f.
Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU
berpihak kepada salah satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga
parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon.
Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan
untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye :
a.
Pelanggaran ketentuan masa cuti
b.
Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan
politik
c.
Care taker yang memanfaatkan posisi untuk
memenangkan PILKADA
d.
Money politics
e.
Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian
birokrasi
f.
Kampanye negative
g.
Pelanggaran etika dalam kampanye
h.
Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan
kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan
4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:
a.
Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil
penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan
b.
suara.
c.
Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi
penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
d.
Belum lengkapnya instrument untuk
mengontrol akuntabilitas PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
e.
Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para
pasangan calon.
f.
Keterbatasan
anggota Panwas mengontrol
hasil penghitungan dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara.
5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral
a.
Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada
salah satu pasangan calon.
b.
Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan
pasangan calon.
c.
Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk
menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon.
d.
Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan
Pilkada oleh KPU di atasnya.
e.
Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu
pasangan calon
f.
Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi
pasangan calon yang kalah.
6. Putusan MA dan MK yang
menimbulkan kotroversi
7. Putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU
No. 12 Tahun 2008.
8. Penyesuaian tata cara
pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
9. Posisi kepala daerah/wakil
kepala daerah incumbent dalam Pilkada
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11. Sistem pemilihan gubernur.
12. Sistem pemilihan wakil kepala
daerah.
BAB III
PEMBAHASAN DAN
ANALISIS
1. Daftar Pemilih tidak
akurat.
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan. Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
2. Proses pencalonan yang
bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan yang selama
ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai
politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam
menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai
pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai
dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut
memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran,
meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang
walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki
kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali
terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.
Pasal 59 ayat (5) huruf a
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai
politik pada saat mendaftarkan pasangan calon,
wajib menyerahkan surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai
politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di
internal partai politik.
ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik
setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP
partai politik. Dalam permasalahan ini
karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP
partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di
wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai
wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik
tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon.
Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan
bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat
final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalah gunakan
untuk menggugurkan pasangan
calon tertentu tanpa dapat
melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan
untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui
pengadilan. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu
diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses
pencalonan dirugikan KPUD.
3. Pemasalahan pada Masa
kampanye.
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam
pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu
meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana
kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan
selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari
celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan
selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan
suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi
start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat
pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan
informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu
ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas
kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi
program.
4. Manipulasi penghitungan
suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU
Kabupaten, dan KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi
hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang
tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas
membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang
banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa
daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
5. Penyelenggara Pemilu
yang tidak adil dan netral
a.
KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan
calon dilakukan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan
atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten.
Padahal pengambil-alihan baru
dapat dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat
melaksanakan tahapan Pilkada.
b.
KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota
Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada
salah satu pasangan calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan,
penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
c.
Panwaslu.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah. Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah. Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.
Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU,
KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan,
serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan
adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai
integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman
yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.
6. Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil
penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi
untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang
dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa
pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan
pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil
yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila
terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan
baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di
masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut. Selama ini tidak
hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti
permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di
internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada.
Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya
sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan
tersebut.
7. Putusan-putusan MK yang
membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan
Pilkada.
a.
Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004:
Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b. Putusan MK Nomor
No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun
dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung
satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah atau lebih
masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila
seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih.
Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.
Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.
8. Penyesuaian tata cara
pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
a. Penyesuaian tata cara
pemungutan suara.
Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004
menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos
salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan dalam pelaksanaan
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan
memberi tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam Pemilu
2009 dengan memberi tanda centang masih banyak yang salah sehingga suara tidak
sah, namun cara pemberian suara ini
telah mulai memasyarakat,
sehingga agar tidak membingungkan masyarakat, maka ketentuan
dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara pemberian suara perlu
diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009.
b. Penyesuaian penggunaan KTP
sebagai kartu pemilih.
"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Posisi kepala
daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada
Dalam rangka menjaga
kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam
Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari
jabatannya. Namun melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008,
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan
ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan
kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan
sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat
negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil
kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah hanya cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil
kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan
dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.
10. Penggabungan PILKADA
(Pilkada serentak).
Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya Pilkada juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi penggabungan Pilkada.
Optimasi Penggabungan.
1) Pilkada seluruh
Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1 X , yaitu dimulai
Tahun 2015.
a.
Jumlah care taker kepala daerah yang akan
ada 278 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang
optimal.
b.
Aparat keamanan harus
menggelar pasukan secara serentak di seluruh
Indonesia.
c.
Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal
menjadi isu nasional.
d.
Dari segi biaya akan dapat dihemat.
2) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai tahun 2013 dan tahun 2015.
a.
Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 57
kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi sedikit kurang
optimal.
b.
Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara
serentak di + setengah seluruh Indonesia.
c.
Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal
menjadi isu nasional.
d.
Dari segi biaya akan dapat dihemat.
3) Pilkada dilaksanakan secara bersamaan di masing-masing wilayah provinsi 1X sesuai jadwalnya.
a.
Jumlah care taker kepala daerah yang akan
ada 225 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang
optimal.
b.
Aparat keamanan harus menggelar pasukan di
setingkat Polda.
c.
Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d.
Dari segi biaya akan dapat dihemat.
4) Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan.
a.
Jumlah care taker kepala daerah kecil dan dalam
waktu singkat, sehingga pemerintah daerah masih berjalan normal.
b.
Aparat keamanan harus menggelar pasukan di
setingkat Polda atau Polres.
c.
Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d.
Dari segi biaya akan dapat dihemat.
11. Sistem pemilihan
gubernur.
Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasarkan:
1)
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945
menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang",
2)
Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945
menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis",
3)
Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945
menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama
dalam pemerintahan",
Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak
bertentangan dengan konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1)
Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih,
pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi
rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung.
Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur
sama.
2)
Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih,
baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki
nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)
Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat
dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan
dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung
dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan
yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)
Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah
dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui
perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan
seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi
gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di
sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah
yang direpresentasikan oleh DPRD.
5) Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
5) Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1)
Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa
Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk
menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah
daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi
rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang
kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur.
Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga
adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)
Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan
pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/
walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat
daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan
perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur
sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan
gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka
sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Kondisi masyarakat
dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada
kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program,
pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui
kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan
melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para
calon bersaing secara sehat.
kesadaran akan kebutuhan
pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan
efisiensi
Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan
efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih
baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung.
Berdasar tinjauan
yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur
secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih
melalui sistem perwakilan.
12. Sistem pemilihan wakil
kepala daerah.
UUD Negara Rl Th
1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala
daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan
kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan
pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan
antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga
adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan
sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal
terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat
dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil
kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik
yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis
tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah,
agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan
wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system
demokrasi pada umumnya dan system pilkada pada khususnya harus jujur
diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait
pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann,
bahwa sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance)
berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut;
kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani
system tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan,
sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga
sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan
konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi
munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal.
Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini menghinggapi para pemangku
kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai
“legal culture of the insider”.
BAB IV.
KESIMPULAN
Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak
Juni 2005 s/d saat ini secara umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan
demokratis dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian
dalam penyelenggaraan Pilkada ke depan masih perlu dilakukan berbagai
penyempurnaan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi dalam
penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1. Peningkatan akurasi
daftar pemilih.
Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam
Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup
memadai. Kunci penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah
pelibatan RT/RW secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk
maupun perbaikan data pemilih.
2. Peningkatan
akuntabilitas proses pencalonan.
Dari segi regulasi, pengaturan tahapan
pencalonan yang ada dalam Pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 belum cukup memadai. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan
pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan,
jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3. Masa kampanye yang lebih
memadai.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai
kampanye yang diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 belum member! waktu yang cukup, yaitu hanya 14 (empat belas)
hari, sehingga tidak cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap
para calon. Untuk itu perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan
kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari
segi program.
4. Peningkatan
akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai
penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah
terjadi manipulasi pada pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan
suara yang tidak sama dengan hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh
masyaakat, karena tidak semua peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS
dan keterbatasan jangkauan Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS.
Selain itu pengumuman hasil penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS
hanya selama TPS ada (tidak lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta
Pilkada kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS. Untuk
itu perlu pengaturan yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para
saksi calon untuk mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil
rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.
5. Peningkatan
penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada
salah satu pasangan calon terjadi karena kriteria dalam sistem seleksi para
anggota penyelenggara pemilu baru belum menjangkau sikap mental yang diperlukan
bagi penyelenggara pemilu yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai
integritas tinggi, kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas, dan tidak tidak
mudah mengeluarkan statement. Untuk itu dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilu perlu penambahan kriteria sikap mental dimaksud
dalam system seleksi anggota penyelenggara pemilu.
6. Minimalisasi Putusan MK
yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12
Tahun 2008 telah membatasi kewenangan pengadilan/mahkamah dalam sengketa
Pilkada hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan
sering menabrak aturan tersebut dan menimbulkan kontroversi. Untuk itu dalam
revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada
masalah ini masalah kontroversi
putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicarikan jalan keluarnya.
7. Putusan-putusan MK yang
membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan
pelaksanaan Pilkada.
a. Putusan MK Nomor
072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal yang ada dalam
Undang-Undang No 32 Tahun
2004 sebagai berikut:
1) Pasal
57 ayat (1) sepanjang anaka kalimat "...yang bertanggung jawab kepada
DPRD",
2) Pasal
66 ayat (3) huruf e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas
KPUD",
3) Pasal
67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4) Pasal
82 ayat (2) Sepanjang anak kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan MK
Nomor No 22/PUU-VII/2009 membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004.
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam
revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah substansi
yang telah dibatalkan tersebut untuk tidak diatur lagi.
8.
Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu
pemilih dengan
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dalam
pemberian suara sudah tidak lagi mencoblos tapi menconteng serta penggunaan KTP
juga sebagai kartu pemilu, maka untuk tidak menimbulkan kebingungan di
masyarakat perlu dilakukan penyerasian. Untuk itu ketentuan dalam UU No. 32
Tahun 2004 terkait dengan tata cara pemberian suara dan penggunaan kartu
pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu
DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Minimalisasi politisasi
birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam
Pilkada.
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga
netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala
daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah harus aktif.
10. Penggabungan PILKADA
(Pilkada serentak).
Optimasi penggabungan Pilkada di Indonesia
yang paling optimal berdasar kriteria kontinuitas jalannya pemerintahan daerah,
kesiapan aparat keamanan, dampak isu yang akan muncul terhadap dan efisiensi
biaya didapat alternatif yang memiliki skor terbaik, yaitu : "Kepala
daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara
bersamaan".
11. Peninjauan sistem
pemilihan Gubernur.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai
kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai
wakil pemerintah yang besar, maka berdasar tinjauan yuridis, filosofis,
politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung
sudah dapat dipertahankan lagi dan akan lebih efektif jika pemilihannya
dilakukan melalui sistem perwakilan.
12. Peninjauan sistem pemilihan
wakil kepala daerah.
Pemilihan wakil kepala daerah dilakukan
secara langsung berpasangan dengan kepala daerah, pada banyak daerah telah
menimbulkan hubungan yang tidak sinergi dalam menjalankan tugas dan fungsi. Hal
terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat
dengan kepentingan politik menjadikan kedua belah saling waspada atas
kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan
tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah,
agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan
wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
BAB. V
PENUTUP
Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka
menyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari 5 tahun.
Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam rangka
penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Dinamika politik selama lebih dari sepuluh tahun telah
memberikan peran politik local cukup signifikan. Namun penyempurnaan masih
harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai aktualisasi dari dinamika
politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau institusi perlu memperhatikan
pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.
Sementara itu susunan pemerintahan daerah akan menjadi
dasar bagi pembangunan interaksi di antara mereka. Demikian pula, susunan
pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari peranan yang dimainkan
oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada
masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat. Pendidikan
politik masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah diharapkan
menciptakan sistem politik yang demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya
akan dapat memberikan kontribusi bagi terwujudnya sistem politik demokratis di
tingkat nasional.
Yang terlebih penting lagi adalah konsolidasi demokrasi
yang harus merupakan konsensus untuk menyempurnakan system demokrasi,
khususnya pemahaman “legal system” di atas, baik yang berkaitan dengan
substansi, struktur dan budaya hukum, yang penyempurnaannya harus merupakan
usaha yang tidak pernah henti (the endless effort). Demokrasi sebagai
system politik harus didukung oleh system hukum yang mantap, yang effektivikasinya
akan banyak tergantung pada kualtias perundang-undangannya; kelengkapan
sarana dan prasarananya; kualitas sumberdaya manusianya baik mental maupun
intelektual; dan partisipasi masyarakat secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu
Kepala Daerah Periode 2005-2008.
2.
Sentosa Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung,
Nuansa Aulia
3.
Nugroho Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945,
Bandung, Nuansa Aulia.
4.
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008,
Jogjakarta, Gradien Mediatama.
5.
Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung,
Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta, KOMPIP.
6.
OC.Kaligis, 2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada
di Pengadilan, Bandung, PT. Alumni.
7.
Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen, 2008,
vol.1 No.25, Center For The Study Of Intelligence And Counterintelligence.
Langganan:
Postingan (Atom)